Menjadi Sumedang Diluar Sumedang
“Orang yang menetap dan berkarir di Sumedang akan meneruskan sejarah, dan orang yang memilih merantau dari Sumedang untuk berkarir dan berkarya akan mendobrak sejarah.”
Sumedang adalah sebuah kota kecil yang banyak melahirkan nama-nama besar dikancah Nasional. Apabila kita mengenal sosok diva Indonesia, Rossa sebagai putera daerah, itu hanyalah sebuah contoh terkecil dari banyak sosok-sosok sukses yang berasal dari Sumedang. Sebut saja nama-nama besar seperti Ali Sadikin, mantan Gubernur Jakarta periode 1966-1977, lalu ada Miss Tjitjih yang terkenal sebagai legenda pagelaran Sunda, juga yang tak kalah populer seniman dan komedian Nasional, Raden Aang Kusmayatna Kusiyana Samba Kurnia Kusumadinata atau yang lebih akrab disapa Kang Ibing. Mereka semua lahir dan tumbuh dewasa dari kota kita tercinta ini.
Dan apa yang membuat mereka bisa sukses dan dikenang banyak orang hingga sekarang? Jawabannya hanya satu, keberanian untuk keluar dari teritorial dengan tujuan memperbaiki hidup lebih baik lagi. Ya, merantau. Bila dihubungkan dengan fakta-fakta diatas, tradisi merantau ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Sumedang. Hal ini menunjukan bahwa karakter orang Sumedang yang senang berkelana dari usia muda, entah itu melanjutkan kuliah atau bekerja.
Tradisi ini tentu saja muncul dengan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Bentuk pertanyaan dengan statement paling klise saat ini adalah, “Naha teu gawe di Sumedang wae? Asa tara balik, siga nu teu nyaah wae ka Sumedang teh.”. Tidak semua perantau-perantau dari kota Sumedang bisa menjawab pertanyaan ini dengan mudah. Setiap orang punya pendapat masing-masing bila ditanyakan apa alasan mereka memilih berkarir di kota besar.
Beberapa faktor yang relevan pendorong yang membuat Sumedang banyak “ditinggalkan” masyarakatnya untuk bekerja diluar kota daripada menetap dan hidup di Sumedang. Pertama, industri yang memadai keahlian masing-masing orang belum memadai di Sumedang. Kedua, UMK penghasilan di Sumedang berdasarkan keahlian masing-masing orang berbeda jauh dengan kota besar. Ketiga, karya dan aspirasi masing-masing orang akan sulit diapresiasi dan direalisasikan di Sumedang, sedangkan di kota besar lebih terfasilitasi.
Apapun alasannya, meninggalkan kota Sumedang untuk miniti karir dan berkarya di kota besar bukan berarti tidak sayang pada tanah kelahiran. Dan lebih banyak menghabiskan waktu diperantauan bukan berarti tidak peduli dengan situasi dan kondisi kota Sumedang itu sendiri. Disaat orang memutuskan berkarir keluar dari teritorialnya, itu berarti keberanian untuk memperbaiki diri muncul. Dari faktor dan fakta sejarah inilah timbul sebuah pemikiran bahwa, orang yang menetap dan berkarir di Sumedang akan meneruskan sejarah, dan orang yang memilih merantau dari Sumedang untuk berkarir dan berkarya akan mendobrak sejarah.
Setiap masing-masing orang yang berkarir diluar Sumedang, sedikit lebihnya pasti selalu meluangkan waktu untuk pulang ke “tanah yang dirindukan”. Dan jawaban paling relevan untuk pertanyaan klise diatas, “Urang nyaah ka Sumedang, tapi urang leuwih nyaah ka diri sorangan. Kota sekali dirusak masih bisa dibangun lagi, tapi potensi diri sekali dirusak akan sulit untuk bangkit kembali.”